Parijs van Lamphong

5 – 7 juli 2010.

Dimanakah itu? Ternyata kota yang dimaksud adalah Menggala. Julukan ini diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang memilih Menggala sebagai pusat perdagangan, pemerintahan, pendidikan dan budaya pada kurun abad 17-19. Dibangun straat-straat (jalan-jalan bersap) dan pembangunan gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, kantor pos, dll. Sampai saat ini jalan atau strat tersebut masih ada, yaitu jalan satu sampai lima.

Aku membayangkan keramaian hiruk pikuk yang hidup di kota ini dahulu kala. Dimana buyut-buyutku hidup dan terus melahirkan generasi hingga muncullah aku di dunia. Pasca kepulanganku dari Jepang timbul keinginanku untuk mengunjungi Menggala, Tulang Bawang. Aku belum pernah diajak kesana sama mama, selalu di Tanjung Karang saja kalau ke Lampung. Alasanku yang paling wajar adalah aku telah sampai ke luar negeri, bahkan mempelajari budaya dan bahasanya. Namun aku belum pernah ke Menggala, dan tidak tahu budaya Menggala dan bahasa Lampung. Meskipun seharusnya tidak perlu dengan alasan seperti ini, adalah tetap sangat masuk akal jika kita mengenali kota tempat asal usul aselinya kita.

Hari pertama, sudah terlalu sore tiba dirumah Uni Hesna (Nyainya Uni dengan Datuk Aliasak kakak beradik), itupun dengan asas praduga tak bersalah. Sempat diwaspadai, karena kehadiranku yang mendadak dan hanya melalui telefon. Karena memang masuknya sudah saudara jauh, satu buyut dan kami sangat jarang bersilaturahim. Rumah Uni terletak di jalan tiga, kibang. Mudah saja untuk mencari rumah disini, cukup sebut nama hampir pasti semua orang tahu. Malamnya aku diantar guidetour through car window ke kompleks kantor-kantor pemerintahan.

Komplit deh, segala macem kantor dinas ada dan rata-rata bangunannya baru direnovasi. Rumah dinas Bupatinya juga megah dan semuanya menampilkan bangunan dan eksterior khas Lampung. Hal yang menjadi kebiasaan adalah duduk mejeng di teras atau didepan rumah. Sore hingga malam, banyak warga yang menghabiskan waktu dengan aktifitas mencari angin dan keakraban ini. Benar-benar asyik dan sangat kekeluargaan sekali. Tak terasa jam menunjukkan malam telah begitu larut, padahal aku masih getol belajar bahasa lampung.

Hari kedua, pagi-pagi ikut Uni ke pasar baru Putri Agung, yang lebih lengkap dibandingkan pasar lama. Dalam perjalanan ke pasar naik motor, di kiri kanan terhampar berhektar-hektar kebun singkong. Komoditi utama pertanian ini telah banyak membawa rakyat menjadi makmur. Dan dari segi pertumbuhan kesejahteraan, sepertinya masyarakat disini telah memiliki kehidupan usaha yang baik, terlihat dari rumahnya yang bagus sudah seperti di kota. Yang paling aku suka adalah rumah panggung, begitu kokoh, antik dengan interior didalamnya yang telah modern. Sampai di pasar, suasana begitu ramai mendengar logat Lampung yang kental dan komoditas yang dijual cukup komplit, mulai dari bangunan pasar khusus untuk ikan, sayuran hingga pakaian. Uni belanja persediaan yang lumayan banyak, dan selama aku dirumahnya, aku selalu disajikan nyeruit sambal dengan ikan gabus bakar, slurp!^^

Siangnya aku ke pasar lama, dibelikan terasi Menggala oleh Paduka (suami Uni-red). Wuiih baunya sangat menusuk, dan bergunung-gunung terasi itu ditempatkan didalam tong-tong biru besar. Ternyata pasar lama yang berada di jalan satu, bersebelahan langsung dengan sungai Tulang Bawang. Dibelakang toko aku akhirnya melihat hamparan sungai luas coklat itu. Dulunya ramai sekali aktifitas transportasi dan perdagangan yang hilir mudik di sungai ini. Tapi sekarang sudah sangat berkurang, hanya terlihat sedikit nelayan dengan perahu kecilnya atau dengan usaha kerambanya. Ada yang lebih besar, hanya saja di belahan aliran sungai yang lain…aku tidak dapat melihatnya. Kemudian ke Tangga Raja, bangunannya sederhana saja. Rangkaian tangga menuju pendopo, lalu jalan menuju sungai Tulang Bawang. Konon, dulu disinilah tempat raja-raja berkumpul untuk bermusyawarah.

Lalu kenapa disebut kerajaan Tulang Bawang, singkat cerita bawang kan tidak ada tulang to? Yah seperti itulah nasib kerajaan ini, tidak ada bekas-bekas peninggalannya. Seperti tenggelam begitu saja ditelan arus sungai besar ini. Ada yang menyebut, disebabkan oleh persaingan dengan kerajaan Sriwijaya, Palembang. Sampai-sampai ada yang melarang pernikahan antara pasangan dari kedua wilayah ini, karena bisa gak langgeng alias berantem terus..hehe.

Perjalanan diteruskan ke Sesat Agung dan Nuwo (rumah) Adat Menggala, yang berada di jalan utama lintas timur Lampung-Palembang. Gedung sesat sebagai rumah besar tradisional Lampung ini, sayang hanya ramai jika ada perayaan saja. Tertutup, aku hanya dapat menikmati bangunannya dari tampak luar saja. Begitu juga dengan keempat rumah adat Menggala, yang sepertinya tidak ada perbedaan diantara keempat bangunan tersebut. Malah yang satu telah dihuni oleh puluhan kelelawar yang begitu berisik. Padahal ini termasuk bangunan baru, museum yang juga berada didalam kompleks inipun masih tengah dibangun.

Ada nama-nama dari rumah adat ini, Tegamoan, Buai Bulan, Suwai Umpu, dan Buai Aji. Itu adalah keempat marga-marga tertua atau Megou Pak. Dan keluarga besar kami masuknya turunan dari marga Buai Bulan. Yaitu telusur demi telusur, dari buyut Gayonihan – Karim – Aliasak. Gayonihan itu artinya kaya sekali..Aamiin. Tapi ada juga arti keduanya, gaya banget. Kayaknya aku baru termasuk di pengertian yang kedua ini, hehe..

Menyenangkan sekali mengetahui siapa kita, melalui garis keturunan kita. Aku juga mempelajari bahwa ada empat karakter atau sifat dari orang Lampung. Sakai sembayan (suka bersih-bersih), Betemui nyimah (menjamu tamu), Bejuluk beadek (tradisi memakai nama-nama panggilan), Piil pasanggirey (memegang prinsip;gengsi). Wah untuk yang gengsi ini agaknya aku kurang sreg. Tapi begitulah contohnya, dalam acara khitanan saja, harus begitu mewahnya seperti pernikahan. Aku pun sempat melihat situasi ini, dimana banyak jalan yang ditutup karena tengah pasang tenda karena sedang banyak acara. Meskipun sebenarnya tidak punya uang, bagaimanapun caranya harus tetap terselenggara, sampai menggadaikan rumahpun dilakoni.

Lalu sorenya, ke daerah Cakat dengan menyeberangi jembatan besar melintas diatas sungai Tulang Bawang. Disini aku lebih tercengang lagi!. Masak diatas bukit itu, ada bangunan miniatur candi Prambanan, rumah Toraja, rumah Gadang, rumah Joglo, dan bangunan khas Bali. Bahkan rencananya akan terus diperluas dan dibangun untuk mendirikan layaknya Taman Mini jilid II. Well, kita tunggu saja. Rupanya memang disini lumayan plural, sepanjang jalan aku melewati kampung Bugis, lalu berbagai nama jalan yang mencirikan nama kota terbesar daerah lain, banyak orang jawa dan hindu Bali juga. Hal ini sesuai dengan motto dari kota Menggala “Sai Bumi Nengah Nyapur”, mampu bergaul di tengah-tengah perbedaan. Masyarakat Menggala dikenal luas sebagai masyarakat yang dinamis, terbuka dan cepat bersahabat. Nah, ini aku sepakat banget!. Sedangkan motto Lampung adalah “Sang Bumi Ruwa Jurai”, Lampung terdiri dari dua bagian, daerah pesisir dan daerah daratan yang tidak berbatasan dengan laut.

Di Cakat terdapat tempat pusat oleh-oleh yang terbuat dari berbagai olahan dari ikan air tawar, kebanyakan diasap dan diasinkan. Pokoknya masih terbuka luas banget lahan potensial dari Menggala, baik sungai dan dataran rendahnya. Bagi para investor merupakan lahan bergandanya uang nih, berminat?. Apalagi memang sedang giat-giatnya membangun sekali pemerintahan kota Menggala ini.

Perjalanan satu hari yang penuh wawasan baru ini ditutup dengan masuknya ratusan kerbau ke kandangnya. Setelah seharian merumput di dataran rendah, mereka patuh kepada penggembalanya untuk kembali kekelompoknya sendiri menuju kandang. Tertib, tahu aturan, dan bisa antri, adalah pelajaran dari ternak yang bernilai jual tinggi ini.

Hari ketiga, hari terakhir ini aku bermaksud untuk berziarah ke makam keluarga buyut Gayonihan. Ternyata Uni sudah lupa, kami cukup lama mencarinya karena banyak yang sudah tidak ada lagi nama di nisannya, terhapus waktu. Akhirnya dengan keyakinan Uni bahwa yang dipagar sebelah pojok itu adalah kuburan yang dicari, aku pun berdoa sejenak. Ada terbersit harapan baru untuk kelak dikemudian hari dapat kembali lagi, membangun desa.

Tinggalkan komentar